Kamis, 10 Februari 2011

Peristiwa Lengkong Tangerang

PERISTIWA LENGKONG (SERPONG)

Suatu kejadian yg sulit saya lupakan adalah Peristiwa Lengkong.
Dalam upaya memiliki senjata yg masih ada di tangan tentara Jepang, Resimen Tangerang beberapa kali mengadakan pendekatan dengan komandan pasukanpang yg bermarkas di Lengkong.
Sebulan sebelum peristiwa, Letkol Singgih, Mayor Daan Mogot dan Kapten Endjon menemui Kapten Abe, yg ternyata menolak memberikan senjata kepada TKR.
Padahal antar RI dan Sekutu telah sepakat, bahwa tentara Jepang yg ada di daerah kekuasaan RI akan dilucuti, kemudian dipulangkan.
Berdasarkan percakapan antara Daan Yahya dan Oetarjo, diupayakan untuk bertemu dengan Letkol Miyamoto perwira Jepang yg diberi tanggung jawab ats pengurusan dan pemulangan tentara Jepang di Pulau Jawa.
Tidak ada kepastan dari Miyamoto.


Dalam situasi tidak menentu, tanggal 24 Januari 1946 diperoleh informasi, bahwa pasukan Belanda sudah menduduki Parung, dan selanjutnya akan bergerak ke Lengkong.
Itu berarti markas Jepang di Lengkong akan dikuasai Belanda, selanjutnya AMT (Akademi Militer Tangerang) juga terancam.
Pimpinan Resimen Tangerang kemudian mengambil gerak cepat untuk mengamankan Resimen IV dan juga AMT, dengan merebut senjata Jepang di Lengkong.


Setelah upaya damai gagal, maka digunakan ”tipu muslihat” untuk melucuti pasukan Jepang di Lengkong.
Teknik pengelabuan ini diperkirakan akan lebih efisien.
Resimen akan menggunakan 4 serdadu Inggris yg berkebangsaan India yg melarikan diri dari kesatuannya

Untuk membantu ”siasat” yg telah tersusun rapi.
Pasukan TRI dan serdadu India yg berpakaian lengkap tentara Inggris itu bersikap seolah-olah utusan sekutu yg datang melucuti tentara Jepang.
Pelaksanaannya ditangani oleh Taruna AMT.
Sebagai komandan operasi ditunjuk Mayor Daan Mogot, yg memang sudah mengenal Kapten Abe.
Daan Mogot didampingi taruna yg mahir berbahasa Jepang, Alex Sajoeti.

Awalnya apa yg terjadi sesuai dengan rencana semula.
Daan Mogot berunding dengan Kapten Abe.
Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta.
Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yg ada di sana.
Memang, persenjataan Jepang bisa dikumpulkan, dan sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangang.
Tampaknya serdadu Jepang percaya bahwa yg sedang bertugas adalah operasi gabungan TRI dan Sekutu, sementara itu perundingan antara Daan Mogot dan Abe berlangsung alot.


Dalam keadaan sedang menguasai tentara Jepang itu, tiba-tiba terdengar suara tembakan, entah siapa yg melepaskannya.
Mendengar tembakan, tentara Jepang itu kemudian berhamburan mengambil senjata yg telah dikumpulkan oleh Taruna AMT.
Tembak menembak pun terjadi.
Pengalaman tempur yg cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yg lebih lengkap, menyebabkan Taruna AMT menjadi sasaran empuk.
Taruna AMT yg berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet.
Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yg dimiliki.
Sering peluru yg dimasukkan ke kamar nya tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet.

Tidak lama kemudian tidak terdengar lagi suara. Senyap.
Seketika sulit mengetahui berapa orang yg tewas.
Diperkirakan yg gugur 36 orang, terdiri atas 33 Taruna AMT, dan 3 perwira, yaitu Mayor Daan Mogot, Lettu Soebianto Djojohadikusumo dan Lettu Soetopo.

Beberapa Taruna yg lolos dari maut dan menjadi tawanan Jepang diperintahkan untuk menggali kubur bagi teman-temannya.
Kami mendapat izin dari Jepang untuk mengambil jenazah pejuang di Lengkong, kemudian kami bawa dan dikuburkan dekat penjara anak-anak Tangerang.


Terhadap tentara Republik yg masih hidup, ada di antaranya dibawa dan ditahan di Bogor.
Tetapi dengan melakukan pendekatan terhadap Jepang, mereka yg ditahan akhirnya dilepaskan.
Di antara tentara yg dibawa ke Bogor adalah Mayor Wibowo.
Mereka di interogasi oleh Sekutu, tapi tidak ditemukan bukti-bukti bahwa mereka itu bersalah, lalu dilepaskan.

Ketika acara pemakaman kembali itu tampak hadir sejumlah pejabat dan keluarga korban.
Haji Agus Salim kehilangan anaknya, Taruna Sjewket Salim, sedangkan R.Margono Djojohadikusumo, pendiri BNI 1946 itu kehilangan dua putranya yaitu Lettu Soebianto, dan Taruna Soejono.

Bagi Taruna Akabri yg akan dilantik oleh Presiden, mereka terlebih dahulu mengunjungi Taman Makam Pahlawan Tangerang.
Secara tidak langsung itulah awal pengakuan Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri) terhadap Taman Makam Pahlawan Tangerang.
Taruna Akabri sering mengadakan upacara renungan suci di sana.
Sebagai bukti nyata, hari Sabtu tanggal 25 Januari 1986 diadakan upacara peringatan ke 40 Peristiwa Lengkong di Taman Makam Pahlawan tsb.

Dari peristiwa tragis yg merengut nyawa para pejuan itu saya memperoleh cerita, dalam saku Lettu Soebianto Djojohadikusumo yg tewas ditemukan notes yg berisi seuntai sajak Henriette Rolang Holst.
Sajak itu tertulis dalam bahasa Belanda;

Wij zijn de bouwers van de tempel niet
Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen
Wij zijn het geslacht dat moest vergaan
Opdat een betere oprijze uit onze graven

Sajak itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rosihan Anwar, yg kini terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang.
Sajak yg menjadi saksi bisu itu berbunyi;

Kami bukan pembina candi
Kami hanya pengangkut batu
Kamilah angkatan yg mesti musnah
Agar menjelma angkatan baru
Di atas kuburan kami telah sempurna

Ketika terjadi Peristiwa Lengkong itu saya sendiri bertugas di Markas Besar TKR Yogyakarta sebagai ajudan Jenderal Didi Kartasasmita.
Kami menginap di Hotel Merdeka. Pada hari Sabtu malam tanggal 26 Januari 1946, di waktu Pak Didi sedang rapat, saya pulang ke hotel.
Di depan hotel saya bertemu dengan Pak Margono – ayah Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo.

”Saya baru saja dapat kabar ada kejadian di Lengkong,” ujar Pak Margono dengan wajah tegang.
”Maksud Pak Margono?” tanya saya belum mengerti.
”Banyak Taruna AMT yg tewas bertempur dengan Jepang di Lengkong. Daan Mogot tewas. Saya khawatir di antara yg tewas itu ada anak saya,” jelas Pak Margono berusaha tampak tenang.

Saya sangat terpukul mendengar tragedi itu.
Hari itu juga saya menghadap Pak Didi supaya diberi izin pulang ke Tangerang. Dari Yogyakarta ke Tangerang saya tempuh hampir seminggu.
Mencari kendaraan sungguh sulit.
Kadang-kadang saya harus menunggu truk yg lewat untuk mencari tumpangan.
Setiba di Tangerang, saya langsung ke kuburan Daan Mogot.
Tak dapat saya gambarkan bagaimana terharunya perasaan saya ketika itu.
Saya hanya mampu berbisik,”Daan, saya akan lanjutkan perjuanganmu.”

Saya kemudian menjadi Direktur AMT menggantikan posisi Daan Mogot.
Saya benar-benar kehilangan seorang sahabat.
Daan Mogot menghadap Sang Pencipta, sedangkan Zulkifli Lubis bertugas di luar negri.

Pada acara perpisahan dengan Taruna AMT bulang Maret 1946 diadakan paduan suara untuk mengenang para pejuang yg gugur di Lengkon.
Lagu yg dinyanyikan adalah Medan Lengkong.
Lagu tsb semula berjudul Wijaya Kusuma, yg digubah oleh Cornel Simanjuntak dari sajak Sanusi Pane.
Kemudian Rosjidi Imron, Taruna AMT yg gemar musik dan pernah menjadi anggota paduan suara Cornel Simanjuntak memodifikasi sajak Sanusi Pane sedemikian rupa menjadi lirik lagu Medan Lengkong.

Syair lagu yg menyentuh perasaan itu lengkapnya sebagai berikut;

Jauh di sana di balik tembok
Terletak taman pahlawan raya
Tewas berjuang di medan Lengkong
Untuk membela Nusa dan Bangsa
Selamat tinggal Ibunda
Selamat tinggal Ayahanda
Kupergi jauh ke sana
Mencari bahagia

Ternya di antara Taruna AMT ada yg berdarah seni.
Dan syair lagi di atas tentu akan menyentuh perasaan bagi mereka yg pernah terlibat dalam perjuangan, khususnya yg pernah mengenyam suka duka kehidupan di lingkungan AMT Tangerang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar